Rabu, 16 Januari 2008

SYEKH NAWAWI AL-BANTANI

Syekh Nawawi wafat pada tahun 1897 M, bertepatan dengan tanggal 25 Syawal tahun 1314 Hijriyah. Semua ikut berbelasungkawa. Ia meninggal dalam usia 75 tahun. Namun sejarah mencatat namanya bahwa syekh Nawawi adalah manusia yang luar biasa.

Pada tahun 1833 Syekh Nawawi kembali ke Banten. Dengan bekal yang pengetahuan agama yang telah dimiliki, ia banyak terlibat dalam proses belajar mengajar dengan para pemuda yang ada di wilayahnya yang tertarik dengan kepandaiannya. Ia juga aktif mengajar pada pesantren yang milik ayahnya. Akan tetapi Nawawi al-Bantani merasa tidak kerasan tinggal di Banten; ia pun berangkat lagi ke Mekah pada tahun 1855 dan bahkan selanjutnya hidup dan meniti karier keilmuan di Haramain hingga akhir hayatnya.

Ketika bayi Nawawi pertama akali menghirup udara tahun 1813 M, cuaca agama Islam di banten begitu pengap. Segala sesuatu yang menyangkut masalah-masalah agama senantiasa memikat para penjajah untuk ikut campur tangan. Dan semenjak berakhirnya Sultan Banten yang pertama dibawah Sultan Hasanudin yang memerintah dari tahun 1550 sampai tahun 1570, maka kejayaan Islam banten berangsur-angsur surut. Banten menjadi masa lampau yang menyimpan kenangan pahit dari kebiadaban kaum penjajah.


  1. PENDAHULUAN

Bagi pemerhati Islam di Indonesia, Syekh Nawawi adalah fenomena besar dalam dunia kitab kuning, yang sekaligus concern dan piawai dalam merumuskan kajiannya dengan persepsi yang mantap. Puluhan kitab yang menelaah tentang berbagai cabang keilmuan telah dihasilkan oleh tangan ulama dari Banten ini.

Syekh Nawawi adalah pewaris keilmuan yang aktif dan dinamis, sebagai agen yang secara persuasif sanggup menerjemahkan masalah-masalah umat Islam melalui penalaran yang solid, untuk diletakkan kerangka dan tata pikir umat secara selaras dengan kondisi sosial kognitif yang ada.

Dalam makalah ini akan diuraikan tentang Syekh Nawawi al-Bantani dari mulai riwayat hidup, pengembaraan, karya-karyanya sampai kepada pengaruhnya terhadap jaringan ulama Timur Tengah-Nusantara.


  1. RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRANNYA

  1. Biografi Singkat

Syekh Nawawi, nama aslinya ialah Muhammad Nawawi bin Umar bin 'Arabi.1Atau lebih lengkap sebagai Abu Abdil Mu'thi Muhammad Nawawi ibn Umar at-Tanari al-Bantani al-Jawi aatau yang lebih populer dengan Sayyidu 'Ulama al-Hijaz.2

Ia dilahirkan di desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa , Serang, Banten. Itulah sebabnya Syekh Nawawi yang lahir pada tahun 1813 M dan bertepatan dengan tahun 1230 Hijriyah ini, dibelakang namanya ditambahkan dengan at-Tanari, dan al-Bantani serta al-Jawi.3melalui pelacakan geneologi kita akan menemukan Syekh syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati serta Maulan Hasanudin banten sebagai cikal bakal Syekh Nawawi. Melalui Bapak yang bernama Umar ibn 'Arabi, seorang penghulu di kecamatan Tanara, banten. Sedangkan Ibunya adalah Khadijah4 atau Zubaedah5 adalah seorang wanita religius yang juga warga Tanara.

Di dalam suasana yang muram seperti itu Nawawi tumbuh. Semenjak kecil Nawawi memang gemar mempertanyakan hal-hal yang sifatnya rawan seperti ketuhanan dan tauhid.


  1. Pengembaraan Keilmuan dan Jaringan Ulama

Sebelum terlibat dalan jaringan ulama dan belajar kepada guru-guru ternama di Haramain, Syeikh Nawawi al-Bantani bersama dua orang saudara akandungnya,, Tamim dan Ahmad telah membekali pengetahuan agama dengan belajar Nahwu, kalam, nahwu, tafsir dan fikih keapada Haji Sahal (ulama yang mashur di daerah Banten saat itu) kemudian dari Raden haji Yusuf di Purwakarta, Karawang Jawa Barat.

Setelah melanglang ke berbagai wilayah di Jawa untuk berguru, maka pemuda nawawi yang ketika itu berusia 15 tahun bertekad hendak melakukan ibadah haji. Ia berangkat seorang diri tanpa perbekalan yang cukup. Tujuannya mantap yaitu Masjidil Haram, Mekah. Sesampainya di tempat tujuan yang, seusai melakukan ibadah haji, ia tergoda untuk tetap tinggal dan menuntut ilmu di Mekah.

Di Mekah ia antara lain belajar kepada Sayid Ahmad bin sayid Abdurrahman an-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati, dan sayid Ahmad Zaini Dahlan; sedangkan di Madinah ia belajar kepad Syekh Muhammad Khatib Sambas al-Hambali. Selain itu ia punya guru utama yang berasal dari Mesir yaitu Yusuf Sumulaweni, nahrawi, dan Abdul Hamid Dagastani, dan gurunya yang lain.

Ia termasuk seorang ulama Melayu-Indonesia di haramain yang aktif, produktif dan sangat dihormati bukan hanya oleh kalangan komunitas Jawa sendiri, tetapi lebih dari itu oleh masyarakat ulama kosmopolitan Haramain secara keseluruhan.


  1. Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani

Kebesaran Syekh nawawi akan lebih jelas kalau diteropong melalui option pendidikan. Ia adalah seorang figur sentral yang mengajarkan berbagai corak keilmuan. Sudah jelas ia mengedepankan pendidikan, sebab ia merasa perlu untuk untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan keyakinan bahwa ilmu pengetahuan mampu menyebarkan keutamaan.

Melalui pendidikan maka masyarakat akan sanggup mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya serta membersihkan jiwa-jiwanya dari kebodohan. Ilmu Pengetahuan dalam keyakinannya, sanggup mendekatkan para ahamba dengan penciptanya. Antara makhluk dengan Khalik.

Dalam jangka waktu yang relatif singkat, pikiran-pikirannya mulai mewarnai murid-muridnya. Maka tak heran jika pengaruhnya begitu kuat terhadap berdirinya pondok-pondok pesantren yang ada di Jawa/Nusantara pada masa lampau disebabkab karena adanya pengaruh Syekh Nawawi. Bukti nyatanya adalah bahwa pendiri-pendiri pondok pesantren tersebut adalah murid-muridnya.

Bisa dicatat nama-nama besar para pendiri pondok pesantren yang menjadi muridnya, seperti : KH. Kholil dari bangkalan, Madura; KH. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Jombang; KH. Asnawi dari Kudus, Jawa Tengah; KH. Asnawi dari Caringin, Labuan, Banten; KH. Tb. Bakrie dari Sempur, Purwakarta; serta KH. Arsyad Thawil dari Banten. Di samping itu tentu saja masih banyak ulama-ulama lain yang pernah menjadi murid Syekh nawawi.

Pokok-pokok pandangannya mengenai keilmuan meliputi Ushulus Syari’ah, Ijtihad, serta prilaku sosial. Menurut Syekh nawawi, substansi dari Ushulus Syari’ah terdiri dari empat hal yaitu : al-Qur’an, Hadis, Ijma’ serta Qiyas. Konsep ini merujuk kepada al-Qur’an surat an-Nisa ayat 59 yang mengandung empat seruan untuk taat kepada Allah, Rasulullah, kepada ulil Amri dan kembali kepada Allah dan Rasul apabila ada perbedaan pendapat.

Tentang seruan yang pertama dan kedua sudah jelas akan keharusan berpegang kepada Al-qur’an dan Hadis. Sedangkan khusus yang menayngkut seruan yang ketiga, Syekh nawawi secara rinci mengatakan bahwa “ yang dimaksud dengan Ulil amri adalah Ulama yang termasuk dalam Ahlul halli wal Aqdi, yakni pemimpin yang haq (benar) dan penguasa yang adil. Sedangkan penguasa yang kejam dan korup tidak termasuk pihak yang harus ditaati. Apalagi pemimpin yang menindas rakyat. Walhasil, betapa tegas dan jelas pemikiran Syekh nawawi mengenai konsep dan tata laksana kenegaraan.

Di samping ia melakukan ortodoksi terhadap kaidah-kaidah agama yang sudah baku, secara kreatif ia juga melontarkan ide-ide bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Ia melakukan pembaharuan tersebut melalui pendidikan dan pembinaan terhadap kelompok elite agama yang menjadi muridnya secara bertahun-tahun di Mekah. Terbukti, banyak sekali muridnya yang menjadi pemimpin pesantren yang bergaya modern.

Konsep dakwah yang menjadi blue print dan kerangka pemikiran Syekh Nawawi cukup artikulatif yaitu, membagi tiga kelompok manusia bagi kelompok dakwahnya. Pertama, orang yang mempunyai akal sehat, punya wawasan dan mental kognitif yang luas, serta sanggup dan concert, melakukan kajian berbagai permasalahan keagamaan (Islam). Kedua, orang-orang yang mempunyai pandangan dan pengalaman tetapi pola pikirnya kacau dan tidak sistematis. Orang yang hanya mengandalkan inisiatif dan prakarsa dari orang lain. Ketiga, orang-orang yang bersikap apriori dan tidak aposteriori yang ahanya suka berdebat tanpa landasan pemikiran yang jelas.

Terhadap kelompok pertama, Syekh nawawi membuat formulasi sebagai berikut : “ ajaklah mereka ke jalan Allah, orang-orang yang memiliki akal sehat, jujur dan cerdas dalam berpikir serta punya wawasan yang jauh dan luas, kemukakanlah dasar-dasar yang kuat dan meyakinkan, agar mereka mengetahui hakikat kebenaran. Terhadap kelompok kedua, Syekh Nawawi memberikan konsep dakwah sebagai berikut : Ajaklah orang yang mempunyai pandangan dan pemahaman tetapi awam ini ke jalan Allah tapi dengan penjelasan yang mudah dipahami. Dan terhadap kelompok yang terakhir yaitu orang yang gemar berdebat tapi sikapna apriori, Syekh Nawawi punya konsep dakwah sebagai berikut : hadapilah orang-orang yang bersikap apriori dan selalu berdebat itu, dengan cara yang baik, meski untuk melayaninya harus menggunakan debat pula.6

Terhadap tarekat Syekh Nawawi punya stand point yang jelas. Di dalam kitab Bahjatul Wasaail yang dikarangnya, secara tegas ia katakan: “Syafi’I adalah mazhab saya dan Qadiriyah adalah tarekat saya”. Dalam tasawuf yang dipraktekkan sendiri oleh Nawawi adalah tasawuf yang agak moderat, tasawuf al-Ghazali yang menitikberatkan pada segi etis di dalam bentuk yang sederhana, seperti yang diajarkan dalam abad-abad yang lalu. Hal ini juga disimpulkan an-Nawawi dalam karyanya di tahun 1881 yaitu sebuah syrh terhadap karya al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, dan di tahun 1884 sebuah syrh terhadap syair tasawuf , karya Zainul Din al-Malabari, nenek Zainul Din al-Malabari.7

Persepsi Syekh Nawawi tentang tarekat itu sendiri, secara rinci ia uraikan dalam kitabnya Kaasifatus Saja yang ia karang sendiri. Di dalamnya ia katakan bahwa dalam melakukan ibadah itu semestinya tidak hanya menitikberatkan dari segi syari’ah saja, tetapi juga menekankan segi tarekat dan hakekat. Implikasi ibadah mempunyai tiga muatan, yaitu: pertama, manusia harus mengerjakan ibadahnya sesuai yang ditentukan oleh syari’at; kedua, manusia harus mengerjakan seperti yang pertama dan harus bermusyakafah sengan Tuhannya; ketiga, manusia di samping harus mengerjakan ibadahnya seperti yang pertama dan kedua, juga harus bermuraqabah dengan Tuhannya.

Karya monumentalnya adalah Tafsir Marah Labid yang diterbitkan pada permulaan tahun 1880 M. menurut Karel A. Steenbrink setelah membandingkan antara Tafsir jalalain, tafsir Baedhawi, Tafsir Munir dan Tafsir an-Nur menyimpulkan bahwa karya an-Nawawi jauh lebih baik dan lengkap.8


  1. KESIMPULAN

Tidak diragukan lagi bahwa Syekh an-Nawawi al-Bantani adalah seorang ulama Melayu-Nusantara yang telah berhasil melanjutkn tradisi para ulama Melayu sebelumnya untuk mentransformasikan gagasan keilmuan-melalui murid dan karyanya- dari Haramain ke wilayah Nusantara, khusunya Indonesia. Kendati karier keilmuannya lebih banyak dicurahkan di tanah Arab, namun melalui karya-karyanya, kaum Muslim Melayu-Indonesia pun banyak menikmati manfaat ajarannya. Ia bahkan dianggap oleh mereka sebagai nenek moyang intelektualnya.

Masa hidup Syekh Nawawi (1813-1897) atau sekitar 75 tahun begitu singkat dan padat. Tapi keharuman namanya terus semerbak sepanjang masa. Juga keharuman ilmu pengetahuan dan budi pekertinya. Ia taburkan keutamaan serta keteladanan dan zaman pun mengenangnya.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ma'ruf dan M. Nasrudin Anshory, Pemikiran Syeikh Nawawi al-Bantani dalam Majalah Pesantren No. 1/Vol. VI/1989.

Azra, Azyumardi dan Oman Fathurrahman, Jaringan Ulama Ensiklopedia Tematis Dunia Islam 5, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Maragustam S, Pemikiran Syaikh Nawawial-Bantani Tentang Pendidikan Moral Dalam "Qami' al-Tugyan", Yogyakarta: Jurnal Penelitian Agama Vol. X,2001.

Steenbrink, Karel A.., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.




1 Maragustam S, Pemikiran Syaikh Nawawial-Bantani Tentang Pendidikan Moral Dalam "Qami' al-Tugyan"(Jogjakarta: Jurnal Penelitian Agama Vol. X,2001) hlm.391.

2 Ma'ruf Amin dan M. Nasrudin Anshory, Pemikiran Syeikh Nawawi al-Bantani dalam majalah Pesantren No. 1/Vol. VI/1989. hlm. 95.

3 Ibid. hlm. 96.

4 Azyumardi Azra dan Oman Fathurrahman, Jaringan Ulama Ensiklopedia Tematis Dunia Islam 5 (Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Hoeve, 2002)hlm. 134.

5 Ma'ruf Amin,……hlm. 96.

6 Ibid. Hlm. 104.

7 Karel A Steenbrink., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19,( Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hlm. 121.


8 Ibid.hlm. 127.

Tidak ada komentar: